
Seorang guru jurusan seni bernama Kang In-ho datang dari Seoul ke kota kecil bernama Mujin untuk mengajar di sebuah sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus; tuna rungu bernama Sekolah Jae Ae setelah mendapatkan sebuah promosi dari seorang Profesor yang mengajarnya. Profesor yang mengajarnya kebetulan merupakan teman baik dari Kepala Sekolah Jae Ae. In-ho adalah guru seni yang dapat menggunakan bahasa isyarat. Itu adalah kelebihan yang ia miliki dibanding guru-guru lainnya.

Kota Mujin yang berkabut membuat Kang In-ho mengalami kecelakaan tunggal, ia menabrak seekor kanguru hingga mobilnya mengalami sedikit kerusakan. Hal tersebut membuat Kang In-ho perlu membawa mobilnya ke bengkel untuk diperbaiki. Di bengkel itu ia bertemu seorang gadis dari Kota Mujin bernama Seo Yoo-jin yang tidak sengaja menyerempet bemper mobilnya hingga mobilnya menjadi semakin rusak dan perlu menginap di bengkel. Yoo-jin sendiri adalah seorang karyawan di Pusat Hak Asasi Manusia Mujin.

Gang In-ho menumpang mobil Seo Yoo-jin dan di sanalah mereka saling berkenalan dan bertukar kartu nama. Pada kesempatan itu, Yoo-jin memberitahu In-ho bahwa ia mengenal baik dengan semua polisi di kota Mujin.

Saat pertama menginjakkan kaki di Sekolah Jae Ae, In-ho bertemu dengan Kepala Sekolah dan Kepala Administrasi yang ternyata merupakan kembar identik. Digambarkan dengan jelas bahwa Kepala Sekolah dan Kepala Administrasi merupakan orang penting di Kota Mujin dan banyak berperan aktif di gereja.

Setelah mengobrol cukup lama di ruang Kepala Sekolah, Kepala Administrasi memberitahu In-ho bahwa dirinya harus memberikan uang sumbangan ke sekolah yang jumlahnya cukup besar. In-ho yang tidak memiliki cukup banyak uang, meminta tolong kepada Ibunya untuk meminjamkannya uang.

Hari pertama mengajar, In-ho merasa ada kejanggalan setelah melihat murid-murid yang akan diajarnya namun saat itu ia tidak terlalu ambil pusing. Selang pengajaran dimulai, In-ho tertarik oleh dua orang murid bernama Kim Yeon-doo dan Yoo-ri. Yeon-doo yang memiliki keterampilan menggambar yang cukup menarik serta Yoo-Ri yang tiba-tiba makan apel yang digunakannya untuk peragaan menggambar.


Usai kelas berakhir, saat In-ho masuk ke ruangan guru ia mendapati seorang guru bernama Pak Young-hoon tengah memukuli seorang murid laki-laki bernama Min-soo. Anak laki-laki itu tampak begitu ketakutan namun tidak memiliki daya untuk melawan dari kekerasan tersebut. Young-hoon berdalih bahwa Min-soo telah membawa kabur dua orang murid perempuan sehingga ia memukulinya untuk memberikan pelajaran.

Tiga murid itu mendapat perhatian lebih dari In-ho. Sebelum pulang, In-ho mencari tahu tentang identitas Yeon-doo, Yoo-ri, dan Min-soo. Yeon-doo adalah anak yatim piatu, sementara Yoo-ri dan Min-soo, orangtua mereka memiliki keterbelakangan mental. Yoo-ri memiliki masalah pada nafsu makan yang sangat besar.

Saat hendak pulang dari sekolah, In-ho mendengar suara teriakan yang sangat memilukan dari dalam gedung sekolah sehingga ia pun kembali ke dalam sekolah kemudian mencari sumber suara. Suara berasal dari dalam toilet wanita. In-ho pun mengetuk pintu toilet menanyakan siapa yang ada di dalam. Suara teriakan tiba-tiba menghilang dibarengi dengan tibanya penjaga sekolah yang datang menghampiri. Penjaga sekolah meyakinkan In-ho bahwa tidak ada hal penting apapun di dalam toilet.

Suatu hari, In-ho melihat Yoo-ri duduk di jendela dari lantai dua sambil makan permen. Khawatir Yoo-ri terjatuh, In-ho pun langsung bergegas naik ke atas untuk menyelamatkan Yoo-ri. Namun reaksinya membuat Yoo-ri terkejut dan ketakutan. In-ho menenangkan Yoo-ri hingga Yoo-ri mulai terbuka kepada dirinya. Saat In-ho ingin pergi, Yoo-ri menahannya dan mengajaknya ke suatu tempat untuk memberitahukan sesuatu.

Betapa tercengangnya In-ho saat melihat seorang wanita yang merupakan adik angkat sekaligus kekasih Kepala Sekolah sedang mencelupkan kepala Yeon-doo ke dalam mesin cuci yang sedang menyala. In-ho langsung menyelamatkan Yeon-doo dan memperingati wanita itu untuk tidak mengulangi perbuatannya. Selain dicelupkan ke dalam mesin cuci, terdapat banyak luka memar di wajah Yeon-doo. In-ho pun membawa Yeon-doo ke rumah sakit.

Ia menghubungi Yoo-jin karena mengingat perkataan Yoo-jin bahwa dirinya kenal baik dengan polisi di Kota Mujin. Namun sayangnya, polisi di sana sudah disuap oleh pihak Sekolah. Yeon-doo memberitahukan fakta bahwa dirinya mengalami kekerasan dan pelecehan seksual oleh Kepala Sekolah kepada Yoo-jin melalui percakapan di secarik kertas. Yoo-jin memberitahu In-ho tentang hal tersebut agar In-ho menyuarakan apa yang terjadi di sekolah.


Keesokan harinya, Yoo-jin segera melaporkan hal tersebut ke Dinas Pendidikan namun pihak dari Dinas Pendidikan menolak untuk menangani kasus tersebut sehingga menyarankan Yoo-jin untuk mengurusnya di Balai Kota. Namun apa yang terjadi, baik di Dinas Pendidikan maupun di Balai Kota tidak ada yang ingin mengusut kasus yang terjadi di sekolah Jae Ae. Yoo-jin yang tidak kehabisan semangat, pergi ke Kantor Polisi namun hal yang sama ia dapatkan.


Namun kebaikan masih berpihak pada Yeon-doo. Sebuah stasiun TV menghubungi Yoo-jin dan mengabarkan bahwa mereka ingin menyiarkan secara langsung mengenai pengakuan dari Yeon-doo akan kekerasan dan pelecehan seksual yang ia dapati di sekolah.

In-hoo bukanlah orang yang memiliki uang yang cukup. Keluarganya pun bukan keluarga berada. Malam itu ibunya datang ke apartemen kecilnya dengan membawa anak perempuannya yang tengah sakit untuk merayakan hari kematian mendiang istrinya. Ibunya sangat berpesan agar In-hoo tidak mencari masalah di sekolah karena pekerjaan yang ia dapat sekarang ini bukanlah hal yang mudah didapatkan orang lain bila tidak ada promosi dari Profesornya. Ibunya pun menitipkan sebuah pohon beserta potnya untuk In-hoo berikan ke Kepala Sekolah.
In-hoo sangat dilemma akan hal tersebut. Di satu sisi ia tidak dapat membiarkan kenyataan ini tertutup begitu saja, di satu sisi ia sangat membutuhkan pekerjaan yang ia jalani saat ini. Hari itu, dengan membawa pohon beserta pot titipan Ibunya, In-hoo berjalan menuju ruangan Kepala Sekolah. Kebetulan di waktu yang bersamaan, ia mendapati Pak Young-hoon tengah menyeret Min-soo yang babak belur keluar dari ruangan Kepala Sekolah. In-hoo memutar langkahnya, ia menghampiri Pak Young-hoon dan melemparkan pot pohon itu ke kepalanya dan membawa pergi Min-Soo.

Proses penyiaran pun dimulai dengan In-hoo sebagai penerjemah. Yeon-doo mengutarakan bagaimana ia mendapat pelecehan seksual di sekolah, bergantian dengan Min-soo yang mendapat pelecehan seksual oleh gurunya sendiri. Bahkan adik Min-soo yang lebih kecil darinya pun kerap mendapatkan pelecehan seksual dari Young-hoon sehingga adiknya memutuskan untuk bunuh diri di rel kereta. Usai penuturan dari Yeon-doo dan Min-soo, Yoo-ri ternyata juga mendapatkan pelecehan seksual. Ia pun menceritakan apa saja yang ia alami di sekolah.
Publik gempar akan fakta tersebut membuat Kepala Sekolah, Kepala Administrasi, dan guru Pak ditangkap oleh polisi. Bukti-bukti yang ada terpaksa membuat polisi yang sudah disuapnya itu tetap menangkap mereka. Polisi itu menyarankan mereka bertiga untuk menyewa pengacara yang dulunya adalah seorang hakim sekelas menteri sehingga dapat melakukan kongkalikong dengan hakim yang akan menangani kasus ini.



Pembelaan kepada terdakwa datang dari kalangan gereja. Mereka yakin bahwa Kepala Sekolah dan Kepala Administrasi tidak mungkin melakukan hal sebejat itu karena kontribusi besar mereka terhadap gereja dan dalam pendirian sekolah khusus Tuna Rungu di kota Mujin. Namun ketiga korban, In-hoo, dan Yoon-jin terus berupaya untuk memenangkan kasus tersebut.


Penuturan korban, saksi-saksi yang dipanggil, serta adu argument yang dilakukan oleh Jaksa dan Pengacara Terdakwa berlangsung sengit. Sidang hampir dimenangkan oleh para korban, namun pihak sekolah mulai menyuap keluarga Yoo-ri dan Min-soo agar memilih jalan damai. Setelah penuturan yang dilakukan Yeon-doo, pihak terdakwa mulai sangat terpojok. Semua orang mulai percaya akan fakta-fakta yang ada. Ditambah dengan ditemukannya bukti rekam CCTV oleh In-hoo dan Yoon-jin akan pelecehan seksual yang dialami Yoo-ri. Bukti rekam CCTV itu pun diserahkan ke Jaksa.
Tapi bagaimanakah hasil sidang akhir? Apakah keadilan berpihak kepada ketiga korban? Atau apakah uang akan membisukan keadilan yang ada?
Film ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi di sebuah sekolah di Kota Mujin. Kasus ini pun menjadi salah satu contoh kasus yang membuat Negara Korea Selatan memperbaiki RUU mereka. Dari kasus yang terjadi, kita dapat menyimpulkan bahwa uang dapat membisukan dan memenangkan segalanya. Namun, di balik itu masih ada orang yang memiliki hati nurani untuk tidak terpedaya oleh uang.
Terdapat adegan-adegan yang secara visual membuat saya merasa tidak nyaman, contohnya saat Kepala Sekolah hendak memperkosa Yeon-doo. Walaupun pada film tidak divisualkan secara gamblang. Adegan-adegan kekerasan yang dilakukan seorang guru ke murid pun membuat perasaan menjadi tidak nyaman. Namun film ini dibuat dengan sangat baik, baik para actor yang memerankan maupun sentuhan efek yang dihadirkan di film ini. Secara keseluruhan, film ini sangat mengaduk emosi saya. Perasaan jijik, sedih, kesal, dan kecewa bercampur menjadi satu.
Semoga saja, bila di dunia ini terdapat kisah tragis seperti itu—apalagi yang melibatkan pihak akademisi, tokoh agama (apapun), kita perlu mengungkapkan hal tersebut. Janganlah terpedaya oleh uang karena seharusnya keadilan tidak dapat dibeli dengan uang bagi siapapun yang memiliki hati nurani.
Cast
Gong Yoo: Kang In-ho
Jung Yu-mi: Seo Yoo-jin
Kim Hyun-so: Yeon-doo
Baek Seung-hwan: Min-soo
Jung In-Seo: Yoo-ri
Jang Gwang: Kepala Sekolah & Kepala Administrasi
Profile
Judul: Dokani/ Silance (English title)
Direktor: Hwang Dong-hyuk
Penulis: Kong Ji-young (novel), Hwang Dong-hyuk
Produser: Uhm Yong-hun, Bae Jeong-min, Na Byung-joon
Sinematografi: Kim Ji-young
Tanggal rilis: 22 September 2011
Durasi: 125 menit
Genre: Drama/ Berdasarkan kisah nyata/ hukum/ disabilitas